Demonstrasi, Laboratorium Bagi Polri - SULSELKINI.COM | REFERENSI BERITA TERPERCAYA

Minggu, 11 Oktober 2020

Demonstrasi, Laboratorium Bagi Polri

Demonstrasi, Laboratorium Bagi Polri


Suryadi Ketua Dewan Pembina Pusat Studi Komunikasi Kepolisian (PUSKOMPOL)

SULSEL KINI ■  ANGGOTA Polri yang berhadapan langsung dengan demonstran bisa saja salah, tapi menstigma polisi arogan jelas satu kesimpulan yang harus bisa dijelaskan agar tidak menjadi serampangan. 

Demonstrasi sebagai salah satu media kebebasan berpendapat secara terbuka di hadapan publik,  biasa dilakukan masyarakat di negara-negara demokratis. Ada massa yang berekspresi di satu pihak, dan pasukan polisi di lain pihak bertugas mengamankan agar demonstrasi berlangsung tertib tidak mengganggu ketertiban umum.  

Demonstran di satu sisi dan pasukan polisi di sisi lain, suka tidak suka saling berhadap-hadapan. Kondisi berhadap-hadapan ini akan memantik bentrokan, bila demontran memaksakan kehendak, dan di lain pihak pasukan polisi tegas menertibkan. Lugasnya, ketika demonstran melakukan tindakan melawan peraturan perundang-undangan, sedangkan pasukan polisi bersitegak sebaliknya.

Hukum di tangan penegak hukum yang konsisten dapat dipastikan membatasi kebebasan seseorang, mengingat ada kebebasan orang lain yang tidak boleh terganggu. Apalagi kalau menyangkut kepentingan ketertiban umum, pasti kepentingan perorangan atau kelompok sekalipun harus dikalahkan. Artinya, semua harus terlindungi oleh hukum dan penegakan hukum.

Di titik inilah pada banyak kasus demonstrasi yang diwarnai oleh tindakan anarkis, termasuk secara kasuistis pada demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja atau OmniBuslaw (DPOB), barangkali menjadi terpicu munculnya tuduhan polisi arogan. Dalam psikologi, arogan yaitu mempunyai perasaan superioritas yang dimanifestasikan dalam sikap suka memaksa atau pongah (KBBI, 2002: 66). 

Psikolog politik UI, Prof. Dr. Hamdi Moeloek mengatakan, jika pada DPOB terjadi bentrok pasukan pengendalian massa (dalmas) Polri dengan demonstran, semua pihak hendaknya tidak dengan mudah memojokkan bahwa polisi telah bertindak arogan. Hamdi melihat dalam DPOB itu lebih besar noise-nya  ketimbang voice (wawancara MetroTv, Sabtu pagi, 10 Oktober 2020).     

Mengacu Hamdi, penulis menafsirkan, sepanjang DPOB cenderung lebih didominasi oleh “kebrisikan” (noise) ketimbang mempersoalkan hal-hal yang substansi (voice). Terbukti, banyak di antara para demonstran DPOB tidak tahu apa yang sesungguhnya  dipersoalkan. Hal ini akan dengan mudah dikonfirmasi kepada sejumlah pelajar (usia di bawah 18 tahun) dan pengangguran yang mengaku cuma ikut-ikutan.

Selayaknya,  DPOB didominasi oleh para buruh yang benar-benar paham secara substansi apa-apa yang dipersoalkan terkait penolakan terhadap OmniBuslaw. Memang, agak sulit untuk membuat seluruh buruh membaca UU yang mencapai hampir 1.000 halaman itu. Di sini lah, sebetulnya diperlukan para intelektual di kalangan buruh atau stakeholder yang relevan memberikan kejelasan dan pencerahan kepada mereka yang diikutsertakan dalam demonstrasi. Demonstrasi, tentu saja, dibenarkan melibatkan  elemen-elemen pendukung seperti mahasiswa atau aktivis yang bergerak di bidang advokasi buruh.

LABORATORIUM
SEJUMLAH demonstrasi yang menimbulkan ketegangan bahkan bentrok antara demonstran dan aparat di Tanah Air bukan baru kali ini terjadi. Artinya, baik massa demonstran maupun polisi, sudah memiliki pengalaman berada dalam satu situasi saling berhadap-hadapan secara diametral.  

Demonstrasi demi demonstrasi sesungguhnya merupakan laboratoium. Peristiwa demi peristiwa dapat diteliti baik secara psikologi sosial, politik, hukum, maupun kriminologi. Apalagi, di antara para pelaku yang melakukan perusakan atau menyerang petugas yang sedang melaksanakan tugasnya, adalah orang-orang  yang bisa segera ditemukan, dikumpulkan, dan didata dalam satu ruang dan kesempatan yang sama. 

Dari mereka, pastilah polisi bisa memperoleh pengakuan  yang meliputi identitas, pekerjaan, motivasi ikut berdemo, kegiatan sehari-hari, bahkan sampai kepada pernahkah di antara mereka terlibat tawuran atau suatu tindak kriminal.  Semua itu merupakan bahan dasar yang sangat bermanfaat bagi penelitian lanjut. 

Keterpaduan di tubuh Polri sebagai satuan sistem kerja, tentu tidak sulit  untuk melibatkan unit-unit kerja relevan. Misalnya,  Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang), Dinas Psikologi, dan Lembaga Pendidikan dan Latihan (Lemdiklat). Bahkan, sudah merupakan hal yang  biasa, Polri melibatkan pihak-pihak eksternal untuk kepentingan suatu penelitian atau kajian.
    
Hasilnya, tentu saja, diharapkan dapat bermanfaat bagi penyempurnaan kebijakan yang kian komprehensif, untuk mengantisipasi melajunya demonstrasi demi demonstrasi di Indonesia. Sangat disadari, apa pun demonstrasi senantiasa berada dan dapat disoroti dalam dimensi politik. 

Sejauh ini, mungkin saja sudah ada hasil penelitian serupa itu, meski selayaknya penelitian dilakukan secara terus-menerus agar menjadi lebih spesifik dalam suatu kajian dan senantiasa aktual. Dokumen hasil penelitian serupa ini bukanlah dokumen rahasia; makin terpublikasi dengan baik akan makin terasa manfaatnya bagi masyarakat.  

Pada saat yang sama, harus diakui sekaligus menjadi perhatian Polri, bahwa anak-anak bangsa ini masih harus banyak mempelajari bagaimana bisa menjadi dewasa dalam berdemokrasi. Banyak faktor, memang, untuk bisa menjadi dewasa dalam berdemokrasi.
Maka, sepanjang kedewasaan berdemokrasi itu belum tercapai, patut diduga tercapainya demonstrasi yang juga  mengedepankan kedewasaan, masih akan memerlukan waktu dan kerja keras. Dalam hal ini, termasuk diperlukan hadirnya polisi yang dengan baik memahami penegakkan hukum dalam Indonesia yang demokrasi.
   
Kemajuan teknologi, tentu saja, sudah tercakup dalam upaya-upaya mencapai Polri yang Profesional, Modern, Terpercaya (Promoter) sebagaimana telah menjadi tekad Polri dalam enam tahun terakhir ini. Salah satu noise-nya demonstrasi dewasa ini juga dipengaruhi oleh cepatnya menyebar hal-hal yang tidak benar, yang secara instan dimamah oleh masyarakat sebagai suatu kebenaran. 

Demonstrasi penolakan terhadap OmniBuslaw yang ditandai oleh tindakan pengrusakan dan pelibatan orang-orang yang tak seharusnya, patut diduga juga ikut dibakar oleh hoax yang terfasilitasi oleh kemajuan teknologi. Ini satu hal lagi, yang memerlukan pendewasaan dalam berdemokrasi. (red)

BERITA TERKAIT

loading...

BERITA TERKAIT LAINNYA

© Copyright 2019 SULSELKINI.COM | REFERENSI BERITA TERPERCAYA | All Right Reserved